Sumber: www.zerochan.net |
"Elsa," suara ayah menggema dari koridor istana.
"Marshmallow,"
seruku sambil mengisyaratkan agar dia segera pergi. Saat itu juga ayah dan ibu
mengetuk pintu kamarku dan masuk begitu saja.
Rasanya
begitu gugup melihat ayah dan ibu mwnggunakan pakaian untuk bepergian begini.
Ini akan jadi kali pertama mereka keluar istana sejak gerbang ditutup. Apakah
harus?
"Apakah
kau benar-bebar harus pergi?"
"Elsa,
ayah tau bahwa kau sudah mengerti apa jawabannya." Ayah berhenti berbicara
dan memelukku. Begitu juga dengan ibu.
Ayah
benar. Aku tau jawabannya. Mereka memang benar-benar harus pergi.
Sudah
sejak seminggu yang lalu ayah, ibu, dan aku mendapatkan isyarat dari para troll
yang pernah membantu kami. Mahluk kerdil itu mengatakan pada ayah, ibu, dan aku
dengan cara yang berbeda. Kepada ayah mereka menuliskan pesan itu pada surat
kerajaan. Kepada ibu mereka menggambarkan itu pada hasil rajutannya. Lewat
marshmallow aku pun mendapat pesan dari mereka.
Mereka
menunjukan lewat imaji-imaji yang acak. Kepada ayah tertulis “yang telah
disiapkan”. Kepada ibu tergambar tenunan hati berwarna es yang cantik, mungil,
dan sederhana. Kepadaku aku lihat salju-salju membentuk mahkota yang hancur
begitu seorang pria datang ke hadapan seorang wanita sebelum pria yang lainnya.
Pria yang lainnya itu membawa rusa.
Tidak
ada satu pun dari kami yang mengerti maksud dari pesan-pesan itu. Meskipun
begitu kami percaya bahwa ini adalah ramalan yang datang dari para troll. Butuh
waktu berhari-hari untuk kami memikirkan apakah kami butuh menemui para troll
untuk menanyakan maksud dari semuanya. Hasilnya, bai ketiga dari kami merasakan
sesuatu yang buruk akan terjadi jika ayah dan ibu pergi.
Sebentar
lagi waktunya aku mendapatkan upacara kedewasaanku. Saat itu aku akan menerima
mahkotaku sendiri dan akan mulai mempelajari cara memimpin kerajaan ini. Oleh
karena itu ayah dan ibu ingin aku tetap tinggal. Dia ingin memastikan aku aman
di balik gerbang ini. Di dalam kamar ini. Sedangkan mereka, tak ada yang bisa
mereka lakukan untuk mampu mengerti pesan itu selain dengan menanyakannya
langsung.
Segera
setelah ayah dan ibu pamit kepadaku, adikku, dan semua pelayan istana mereka
pergi meninggalkan istana. Naik kapal mereka menyebrang lzutan menuju
troll-troll yang bijaksana itu. Aku yang merasa begitu gugup dengan intuisiku
yang ingin menahan mereka tinggal hanya bisa berdoa agar mereka selamat.
Saat
ini genap lima hari sejak ayah dan ibu berangkat, seharusnya tepat hari ke tiga
mereka sudah kembali ke istana. Beberapa prajurit pun dikirim untuk menjempput
mereka kemarin malam. Kini prajurit itu sudah kembali dan menghadapku dari
balik daun pintu kamarku.
“Maafkan
kami, putri Elsa,” seorang prajurit berujar dengan suara rendah dan parau, “kami
menemukan tubuh raja dan ratu dalam keadaan tak bernyawa.” Aku tertegun. Hanya
itu yang kudengar dengan jelas. Kata-kata yang selanjutnya keluar dari mulut
prajurit itu tidak lagi mampu kudengar. Samar aku tangkap pernyataan duka cita
mereka, namun semuanya kembali terdengar seperti kerumunan. Suara seperti gemuruh
mengisi ruang dalam kepalaku tak beraturan.
Perasaan
buruk yang sudah kumiliki sejak awal mereka mengatakan akan pergi kini memuncak.
Rasanya perutku melilit dan mual, tapi tak ada yang bisa aku muntahkan. Tak ada
yang mampu kupikirkan dan kurasakan dengan jelas. Begitu banyak hal seakan
bertabrakan dalam angan dan debar jantungku.
Marshmallow
yang melihat hal itu segera memelukku dan melelehkan dirinya. Beberapa bagian
darinya tumpah ke lantai sedangkan sisanya meresap ke dalam pori-pori kulitku.
“Elsa,
jika ada air yang tumpah dari matamu, itu hanyalah aku yang ingin keluar,”
Marshmallow berbisik pelan, “jadi biarkan saja aku keluar lewat situ. Lewat
matamu.”
Semua
yang sebelumnya seakan berperang dalam diriku terasa dihantam keras. Terasa
seperti seseorang memukul dadaku hingga aku terbatuk. Batuk itu terjadi lagi
dan lagi. Aku pun berlari membenamkan diriku di balik selimut. Wajahku
kutelungkupkan pada bantalku hingga batukku berhenti. Perlahan yang keluar dari
mulutku adalah suara tertahan yang terus menerus mengerang. Marshmallow yang
kini leleh perlahan keluar lewat mataku.
Mereka
sudah pergi.
Mereka
sudah pergi.
Mereka
sudah pergi.
Tanya
masih belum terjawab dan mereka sudah pergi. Ayah, ibu, apa yang bisa aku lakukan sekarang? Tiada menusia yang bisa kuajak bicara kecuali kalian berdua. Bahkan
kini di saat kalian pergi, aku dan adikku menangisi kalian di ruangan yang
terpisah.