Senin, 05 Januari 2015

Do You Want To Build A Snowman III : Mencari Arti Ramalan



Sumber: www.zerochan.net

"Elsa," suara ayah menggema dari koridor istana.
                "Marshmallow," seruku sambil mengisyaratkan agar dia segera pergi. Saat itu juga ayah dan ibu mengetuk pintu kamarku dan masuk begitu saja.
                Rasanya begitu gugup melihat ayah dan ibu mwnggunakan pakaian untuk bepergian begini. Ini akan jadi kali pertama mereka keluar istana sejak gerbang ditutup. Apakah harus?
                "Apakah kau benar-bebar harus pergi?"
                "Elsa, ayah tau bahwa kau sudah mengerti apa jawabannya." Ayah berhenti berbicara dan memelukku. Begitu juga dengan ibu.
                Ayah benar. Aku tau jawabannya. Mereka memang benar-benar harus pergi.
                Sudah sejak seminggu yang lalu ayah, ibu, dan aku mendapatkan isyarat dari para troll yang pernah membantu kami. Mahluk kerdil itu mengatakan pada ayah, ibu, dan aku dengan cara yang berbeda. Kepada ayah mereka menuliskan pesan itu pada surat kerajaan. Kepada ibu mereka menggambarkan itu pada hasil rajutannya. Lewat marshmallow aku pun mendapat pesan dari mereka.
                Mereka menunjukan lewat imaji-imaji yang acak. Kepada ayah tertulis “yang telah disiapkan”. Kepada ibu tergambar tenunan hati berwarna es yang cantik, mungil, dan sederhana. Kepadaku aku lihat salju-salju membentuk mahkota yang hancur begitu seorang pria datang ke hadapan seorang wanita sebelum pria yang lainnya. Pria yang lainnya itu membawa rusa.
                Tidak ada satu pun dari kami yang mengerti maksud dari pesan-pesan itu. Meskipun begitu kami percaya bahwa ini adalah ramalan yang datang dari para troll. Butuh waktu berhari-hari untuk kami memikirkan apakah kami butuh menemui para troll untuk menanyakan maksud dari semuanya. Hasilnya, bai ketiga dari kami merasakan sesuatu yang buruk akan terjadi jika ayah dan ibu pergi.
                Sebentar lagi waktunya aku mendapatkan upacara kedewasaanku. Saat itu aku akan menerima mahkotaku sendiri dan akan mulai mempelajari cara memimpin kerajaan ini. Oleh karena itu ayah dan ibu ingin aku tetap tinggal. Dia ingin memastikan aku aman di balik gerbang ini. Di dalam kamar ini. Sedangkan mereka, tak ada yang bisa mereka lakukan untuk mampu mengerti pesan itu selain dengan menanyakannya langsung.
                Segera setelah ayah dan ibu pamit kepadaku, adikku, dan semua pelayan istana mereka pergi meninggalkan istana. Naik kapal mereka menyebrang lzutan menuju troll-troll yang bijaksana itu. Aku yang merasa begitu gugup dengan intuisiku yang ingin menahan mereka tinggal hanya bisa berdoa agar mereka selamat.
                Saat ini genap lima hari sejak ayah dan ibu berangkat, seharusnya tepat hari ke tiga mereka sudah kembali ke istana. Beberapa prajurit pun dikirim untuk menjempput mereka kemarin malam. Kini prajurit itu sudah kembali dan menghadapku dari balik daun pintu kamarku.
                “Maafkan kami, putri Elsa,” seorang prajurit berujar dengan suara rendah dan parau, “kami menemukan tubuh raja dan ratu dalam keadaan tak bernyawa.” Aku tertegun. Hanya itu yang kudengar dengan jelas. Kata-kata yang selanjutnya keluar dari mulut prajurit itu tidak lagi mampu kudengar. Samar aku tangkap pernyataan duka cita mereka, namun semuanya kembali terdengar seperti kerumunan. Suara seperti gemuruh mengisi ruang dalam kepalaku tak beraturan.
                Perasaan buruk yang sudah kumiliki sejak awal mereka mengatakan akan pergi kini memuncak. Rasanya perutku melilit dan mual, tapi tak ada yang bisa aku muntahkan. Tak ada yang mampu kupikirkan dan kurasakan dengan jelas. Begitu banyak hal seakan bertabrakan dalam angan dan debar jantungku.
                Marshmallow yang melihat hal itu segera memelukku dan melelehkan dirinya. Beberapa bagian darinya tumpah ke lantai sedangkan sisanya meresap ke dalam pori-pori kulitku.
                “Elsa, jika ada air yang tumpah dari matamu, itu hanyalah aku yang ingin keluar,” Marshmallow berbisik pelan, “jadi biarkan saja aku keluar lewat situ. Lewat matamu.”
                Semua yang sebelumnya seakan berperang dalam diriku terasa dihantam keras. Terasa seperti seseorang memukul dadaku hingga aku terbatuk. Batuk itu terjadi lagi dan lagi. Aku pun berlari membenamkan diriku di balik selimut. Wajahku kutelungkupkan pada bantalku hingga batukku berhenti. Perlahan yang keluar dari mulutku adalah suara tertahan yang terus menerus mengerang. Marshmallow yang kini leleh perlahan keluar lewat mataku.
                Mereka sudah pergi.
                Mereka sudah pergi.
                Mereka sudah pergi.
                Tanya masih belum terjawab dan mereka sudah pergi. Ayah, ibu, apa yang bisa aku lakukan sekarang? Tiada menusia yang bisa kuajak bicara kecuali kalian berdua. Bahkan kini di saat kalian pergi, aku dan adikku menangisi kalian di ruangan yang terpisah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar